. Keduanya sedang serius mengobrolkan sesuatu yang sepertinya sangat penting. Sesekali, dihiasi canda tawa yang terlihat dari senyuman keduanya yang begitu merekah.
Ketika
Kami berpapasan dengan sepasang merpati tersebut, terdengar sapaan dari
seorang pria dengan senyuman seolah menyimpan rasa malu, “Assalamu’alaikum, Kak!”. Terlihat pula mimik wajah mesam-mesem dari cewek di sebelahnya.
Serentak Kami menjawab “Wa’alaikumsalamwaromatulloh”,
sembari melemparkan balasan senyuman ke mereka. Oh, ternyata dia adalah
adik kelas Kami. Salah satu budaya di kampus Kami adalah tegur-sapa
jika bersua dengan sesama mahasiswa yang se-almamater, baik di saat
berada di dalam kampus ataupun ketika berjumpa di luar kampus. Budaya
yang saat ini jarang dijumpai dan patut dilestarikan tidak hanya dengan
yang se-almamater.
Tanpa berpanjang kalam Kami langsung melanjutkan perjalanan menuju kontrakan Kami yang tidak jauh lagi.
Tiba-tiba Si Juki nyelethuk “Berani banget ya anak sekarang, Ron?”.
“Maksudmu apa, Ki?” Saya menimpali. Dari gurat wajah Si Juki menunjukkan keseriusan.
“Lihat kejadian tadi, ga? Mereka cuek banget saat lihat Kita lewat.”
“Bukannya tadi mereka memberi salam ke Kita?” balasku.
“Iya, ngerti. Tapi bukan itu yang ana maksud.” dengan logat Arab yang sok fasihnya.
“Terus?” Saya semakin penasaran.
Dengan nada yang tinggi Si Juki berucap “kamu lihat ga sih, tadi mereka cuma berdua cewek-cowok duduk di teras kontrakan. Apa mereka ga malu? Mereka mengira seolah-olah kita senang dengan hal seperti itu. Atau kita sudah tidak dihargai lagi?”
Dari
nada yang diucapkannya sepertinya Juki sangat kesal dengan peristiwa
tadi. Maklum, Dia salah satu pentolan ADK di kampus kami. Begitu pula
pengalamannya saat di SMP dan SMA, telah membentuk pola pikirnya
sehingga Dia sangat alergi dengan ikhtilath (campur baur).
“Oh, itu. Santailah lah, bro. Mungkin saja mereka sedang mengerjakan tugas kuliah.” saya mencoba mendinginkan suasana dengan bahasa yang lagi nge-trend di kalangan muda saat ini.
“Kerja tugas kok mepet banget.” Juki membalas.
“Bisa jadi mereka berdua adalah saudara?” jawabku yang tengah berusaha husnuzhon.
“Saudara kok ga ada miripnya sama sekali, yang satu mantulin cahaya satunya lagi nyerap,” selang waktu kemudian Juki melanjutkan “Lho, Antum kok jadi belain mereka, sih. Jangan-jangan Antum sepakat, ya?”
“Astaghfirullah, Kamu jangan su’udzon dulu,
ya! Bukannya Allah memerintahkan kita untuk menjauhi prasangka, karena
sebagian dari prasangka adalah keburukan. Lagipula mereka juga masih
saudara kita, kan?” Saya menegaskan.
“Afwan Akhi, ana paham. Cuma ana sangat dongkolbanget kenapa akhir-akhir ini peristiwa semacam ini sangat sering ana jumpai. Bahkan saudara yang saya anggap tsiqah saat ini pun terjerumus dengan hal yang serupa. Ana begitu miris” balas Juki.
“Saya salut sama Kamu, bro.
Kamu sangat perhatian dengan saudaramu. Saya juga sangat sedih kalau
saudara-saudara kita saat ini banyak yang terjerumus ka sarana mendekati
zina ini. Bagaimana tidak? Pintu peluang untuk melakukan keburukan
semuanya terbuka. Saat makan, teringat si Dia. Mau tidur, terbayang wajahnya. Pas takbir, eh nongol lagi parasnya. Ketika sujud,
dia lagi-dia lagi. Saat sedang sendiri, selalu ingin bersua dengannya,
padahal baru se menit berpisah. Kalau belum halal, ini kan masuk zina
hati.” jelasku.
“Naam Akhi. Saat sedang
bersama selalu ingin menatap wajahnya. Semua keindahan serasa ada
padanya. Pokoknya tidak pingin berpisah, apalagi lama-lama. Meskipun
sebenarnya sudah tak tahan kebelet mau ke belakang, apa daya tidak di izinkan. Astaghfirullah,
itu juga kan zina mata. Semakin lama bersama, bisikan itu semakin kuat.
Berikutnya (maaf) kemaluanlah yang menolak atau mengiyakan.” Juki
menanggapi.
“Na’udzubillah, Semoga Allah
memberi hidayah dan menjaga saudara-saudara Kita tersebut agar tidak
terjebak ke zina sesungguhnya.” Saya membalas.
“Na’am Akhi, Amin Ya Allah. Semoga Allah menjaga kita untuk tetap menjadi ikhwan JOSH” celetus Si Juki.
“JOSH? Kayak nama minuman suplemen aja?” tanyaku penasaran.
“Iya, JOSH. Ga gaul banget sih Antum?” timpalnya.
“Hihihi, Sorry. Saya kan anak pingitan.” jawabku sembari terkaget karena jarang-jarang Si Juki ngomong bahasa prokem.
“Ampun dah, anak pingitan? Ga salah?” ucapnya sambil mencibir “JOSH itu Jomblo Sampe Halal“ dia melanjutkan.
“Amin, Ya Robb” jawab kami serentak dengan wajah girang.
“Hehehe, Bisa aja kamu, Ki” saya menambahkan.
Tidak terasa ternyata pembicaraan ini telah mengantarkan Kami di depan kontrakan. Kontrakan yang dihuni para ikhwan JOSH. Alhamdulillah,
lingkunganlah yang membuat Kami selalu di jaga oleh Allah. Semoga Allah
memberikan kekuatan kepada Kita untuk kembali kepada-Nya.
Tidak
ada kata terlambat untuk bertaubat. Selama Kita memahami dampak
negatifnya, menyesali tindakannya dan memohon ampun kepada-Nya, serta
tidak mengulangi perbuatan tersebut serta bergaul dengan orang-orang
yang menjauhinya, Insya Allah Dia akan membukakan jalan kepada kita.
No comments:
Post a Comment