Tepatnya 3 hari setelah lebaran tahun lalu, aku duduk-duduk bersama
adikku di kursi ruang tamu sembari menunggu tamu yang akan berkunjung
bersilaturahim ke rumah. Asyik sekali kami membaca perlahan kumpulan
cerpen adik yang diterbitkan oleh sebuah penerbit buku Islam di Bandung.
Rona wajah adikku demikian bahagia menunjukkan karya terbaiknya yang
baru saja diterbitkan. Sebagai seorang kakak terang saja aku sangat
bahagia dan sangat haru melihat potensinya.
Kuelus kepalanya dengan
lembut dan kurangkul dia. Saat itu juga kuucapkan kata-kata mesra pada
adikku untuk memotivasinya terus berkiprah di dunia kepenulisan. Dari
pandangan matanya yang tertuju padaku, tampak sebuah impian besar yang
ingin ia raih. Terakhir kata, ku bilang padanya, semoga Allah berikan kemudahan dalam mengukir citamu, adikku.
Keharuanku
ditepis oleh suara langkah kaki yang demikian mantap dari arah luar
rumah. Suara langkah kaki yang khas dari ayahku. Ia tampak terburu-buru
dan ingin bersegera masuk rumah. Aku semakin penasaran dengannya. Berita
apakah yang akan ia bawa sampai membuatnya demikian.
“Assalamu’alaikum…”, sapanya pada kami.
“Wa’alaikumsalam…”, jawab kami.
“Nis, ada surat buatmu. Pengirimnya dari Fakultas Biologi Unsoed. Ini, coba kamu baca.”
Hati-hati
ku buka amplopnya dan kubaca pelan-pelan setiap kata dari isi suratnya.
Selesai membacanya aku langsung mengucapkan syukur pada Allah. Karunia
rezki yang tak terduga bagiku. Beasiswa S2 yang kuimpikan kini di depan
mataku.
Melihat raut mukaku yang berubah, ayah penasaran dengan isinya.
“Nis, apa isinya ? Gimana, kamu diterima jadi mahasiswa S2 di Unsoed ?” tanya ayahku dengan penuh penasaran.
“Iya, Ayah, Nisa diterima jadi mahasiswa S2 di Unsoed.” jawabku.
Mendengar
hal itu, raut muka ayah langsung berubah. Rasanya kali pertama ku lihat
pancaran bahagia yang berbeda di wajah ayah. Sejenak garis-garis
ketuaan di wajahnya hilang dan dari sorotan matanya tampak harapan besar
yang demikian menyala.
Allah, bahagianya hati ini telah membuat
ayah yang ku sayangi bahagia. Empat tahun merantau di kota orang menimba
ilmu, rasanya baru ini hal yang bisa kupersembahkan padanya sebagai
baktiku.
Ayah adalah sosok orang yang teguh dan mempunyai cita,
semua anaknya bisa mencapai pendidikan tinggi. Meski kami 5 bersaudara
dan hidup ala kadarnya dalam sebuah rumah kecil peninggalan kakek, ayah
tak gentar tuk wujudkan citanya untuk anak-anak tercintanya.
“Diminta registrasinya kapan, Nis ?”
“Lusa, Ayah.”
“Kalau gitu besok pagi harus dah berangkat ke Purwokerto. Soalnya jauh dari sini, Nis.”
“Iya, Ayah.”
Tiba-tiba saja rona bahagia di wajah ayah hilang.
Ayah
duduk di dekatku dan berkata,”Nis, Ayah bingung. Ayah tidak tahu harus
memberi bekal apa padamu. Saat ini ayah tidak punya cukup uang untuk
biaya perjalananmu. Ayam yang dijual di pasar pun belum laku. Maafkan
Ayah, ya, Nis… Andaikan Ayah bisa membantumu … tapi nanti Ayah usahakan
cari pinjaman ke teman Ayah.”
Mendengar penuturan ayah, serta
merta aku pun merasa bersalah. Tak seharusnya kusuguhi ayah dengan hal
ini. Sudah lebih rasanya bebannya menghidupi kami sekeluarga.
Ayah maafkan Nisa … Sebagai anak belum banyak yang bisa kulakukan untukmu.
Rasa
bersalah dan bingung kini beradu. Aku tak tahu harus ke mana mencari
uang sebesar Rp 500.000,00 untuk registrasi. Sisa uang di kantongku
hanya Rp 150.000,00. Uang ini hanya cukup untuk biaya perjalanan kembali
ke Bandung. Beberapa bulan aku belum memperoleh gaji di bimbel tempat
mengajarku. Ingin sekali rasanya mengambilnya. Namun, manusia macam apa
aku ini jika tega melakukan itu di saat kondisi keuangan bimbel masih
labil.
Allah … kupasrahkan semua pada-Mu. Jika memang ini baik
bagi hamba-Mu, maka permudahlah untuk bisa memenuhi panggilan S2 itu.
Jika pun tidak, hamba ikhlas tuk melepaskannya. Hapuslah segala keraguan
yang menyelimuti hamba-Mu yang tak berdaya ini. Perkuatlah keyakinan
hamba-Mu dalam mengambil keputusan, Ya Rabbi.
Seketika,
dering SMS HP adikku mengagetkanku. Ucapan syukurnya membuatku terlepas
sejenak dari kebingungan dan rasa bersalah yang membelit pikiranku.
“Mbak,
Ines barusan di SMS dapet royalti dari tulisan cerpen Ines. Ines dapet
Rp 750.000,00. Mbak bisa pakai sebagian buat registrasi.”, ucap adikku
sambil menenangkanku.
Alhamdulillah…syukurku pada-Mu, Ya Rabbi. Kau permudah jalan hamba-Mu.
***
Esok
harinya aku berangkat ditemani ayahku. Karena hanya bermodal Rp
50.000,00 untuk bekal di perjalanan, kami memutuskan untuk naik sepeda
motor. Kami memasang posisi yang menurut kami nyaman sembari memastikan
semua file dan perlengkapan tidak ada yang tertinggal. Setelah semua
siap, kami pun melaju. Kami menyusuri jalanan dengan membawa semangat
yang tinggi untuk segera sampai di Purwokerto.
Sampai di Semarang,
kami mampir di rumah budhe untuk beristirahat sekaligus silaturahim dan
meminta restu darinya. Budhe heran dengan kami yang begitu berani
menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor. Dasarnya aku adalah orang
yang polos, hanya bermodal nekad menuju Purwokerto, tak tahu kalau
Purwokerto itu jauh dari Pati dan butuh waktu tempuh perjalanan kurang
lebih 9 jam. Ayah bercengkerama ramah dengan budhe dan berusaha
menenangkannya untuk tidak khawatirkan kami. Sebelumnya ayah tak bilang
padaku sampai sejauh ini. Dari sini ku tahu, ayah berusaha tenangkan
diriku agar aku tidak gusar dengan jauhnya perjalanan.
Ayah tampak segar kembali setelah beristirahat. Langsung saja dia berucap untuk lanjut perjalanan. Aku hanya bisa mengiyakan.
Ayah mengendarai dengan kencang motornya sembari sesekali ia menyapaku tuk pastikan aku tidak tertidur.
Kami
sampai di Purbalingga jam 19.15 bertepatan dengan adzan Isya’. Ayah
menepikan motornya di dekat warung makan kaki lima depan masjid. Kami
segera menuju masjid dan shalat.
Keluar dari masjid, sesuatu dalam
tubuhku meminta haknya. Ayah menangkap sinyal itu dan segera mengajakku
ke warung makan tempat kami parkirkan motor. Ayah memesankan makanan
dan minuman hangat untukku.
Tak lama, pesanan pun datang. Aku lihat pesanannya hanya ada nasi 1 porsi, 1 cangkir teh, dan 1 gelas kopi.
“Ayo makan, Nis. Panas-panas biar ga masuk angin perutmu.”
“Ayah makan apa ? Kenapa cuma pesan kopi ?”
“Sudahlah kau makan saja. Ayah masih kenyang.”
Aku
terdiam mendengar perkataan ayah. Aku tahu ayah bukan kenyang saat itu.
Ia hanya menahan rasa laparnya di mata putrinya. Allah … betapa
mulianya sosok ayah di sampingku. Berbekal uang ala kadarnya ia cukupkan
kebutuhan anaknya sementara ia korbankan apa yang menjadi kebutuhannya.
Makan
rasanya jadi tidak selera. Namun, demi membahagiakannya, ku paksa di
depannya aku lahap menghabiskan nasi yang terhidang di depanku. Senang
sekali melihatnya tersenyum.
30 menit piring dan gelas di depan kami telah kosong. Kami pun langsung tancap gas lanjutkan perjalanan menuju Purwokerto.
***
Setengah
sepuluh malam kami tiba di Purwokerto. Tak mungkin rasanya kalau
langsung ke area kampus dan tak mungkin juga kami bermalam di hotel.
Sisa uang di kantong Rp 75.000,00, hanya cukup untuk beli bensin dan
makan sekali saat perjalanan pulang.
Di tengah malam yang dingin,
kami mencari masjid yang bisa dijadikan tempat bernaung hingga pagi.
Berputar-putar kurang lebih 45 menit kami baru menemukan sebuah masjid
yang cukup aman tuk kami bermalam.
Kami duduk di teras sebuah
masjid. Melepas rasa letih selama berada di atas motor. Meregangkan
otot-otot yang kaku dan membilas muka yang terselimuti oleh debu
jalanan. Aku menggigil kedinginan oleh air kran dan angin malam yang
semakin berebut untuk bersarang di persendian tulang. Tiba-tiba
terdengar bunyi gerbang dibuka. Seorang laki-laki tua menghampiri kami
dan meminta kami masuk ke dalam untuk beristirahat. Namun, demi
menjagaku, ayah berkeras tidur di luar hingga pagi. Tak terbayangkan
olehku bagaimana ayah bisa berteman dengan angin malam yang cukup tak
bersahabat.
Rasa letih sepertinya telah menaklukkan kami hingga
pagi. Kami menuju kampus jam 7.30. Aku meluncur ke Gedung Pusat Pasca
sarjana. Ayah menungguku di masjid Ar Raji, FKIK Unsoed.
Proses
registrasi ternyata tak membutuhkan waktu lama. Kujumpai ayah di samping
masjid bersama dengan seorang laki-laki. Panjang lebar ayah bercerita
mencurahkan rasa bangganya terhadap putrinya. Terkadang ayah berlebihan
dalam bercerita. Namun, aku tak kuasa untuk menghalaunya untuk bicara.
Kupikir ini adalah kebahagiaannya dan tak pantas rasanya ku
menghentikannya.
Dia adalah ayah, yang rela terima cibiran orang yang ragukan kemampuannya menyekolahkan putrinya hingga pendidikan tinggi.
Dia teduhkan putrinya meski dia sendiri sedang kalut.
Dia rela berpuasa demi menjaga perut putrinya.
Dia rela terjaga bersama angin malam demi memastikan putrinya aman dan tertidur pulas di antara lelahnya.
Dia yang tak puas jika belum mengunggulkan putrinya di mata yang lain.
Ayah,
bersamamu aku makin cinta. Aku tak punya materi yang mampu membalas
jasamu tapi aku punya Allah di mana ku berdoa pada-Nya agar Dia
senantiasa menempatkanmu di tempat terbaik-Nya. Dia memenuhi pintamu
sebagaimana kau penuhi pintaku. Dia menjagamu melebihi kau menjagaku.
No comments:
Post a Comment