Barang itu masih teronggok di atas tumpukan koran dan majalah. Tak
jauh dari meja belajar. Kado dengan bungkus bercorak batik. Arif sendiri
yang membungkus, tak rapi namun enak dilihat.
“Akh ini …” kata Arif dua hari lalu sembari menyodorkan kado.
“Apa? Buat siapa ini?”
“Buat Antum,” kata Arif sambil meng-he-he. Nyengir kuda. Tangannya masih digantungi kado.
“Memang apa isinya?”
“Nah, biar tahu makanya dibuka.”
“Ah, nggak-nggak. Dalam rangka apa?”
“Memang kalau member harus menunggu rangka dulu ya?” Arif balik nanya.
“Ah, nggak-nggak. Curiga saya, ntar gratifikasi lagi,”
Astaghfirullah al adzim, desah Arif. “Ya nggak lah. Ini memang buat Antum.”
“Ini
akh,” Arif coba memaksa agar tangan teman satu kamar kosnya itu
bersambut. Namun tak bersambut. “Taruh saja di situ. Masa ke kampus bawa
beginian.”
Kopaja 20 pun mengantarkan mereka ke kampus. Ada rasa
yang membuncah bahagia di hati Arif karena bisa memberi sesuatu pada
Ardi. Mereka berdua adalah sekawan yang menempuh di kampus sama dan
ngekos bersama. Demi hemat. Sebenarnya mereka udah kenal lama sejak
semester tiga hingga semester lima ini. Namun gara-gara Ardi mulai
ngekos– yang sebelumnya dilaju dari Bogor ke Jakarta—keakraban mereka
makin lekat.
Arif memberi kado untuk ikhwan berlesung pipit itu
bukan karena apa-apa, hanya ingin memberi. Kebiasaan Arif adalah suka
memberi kado pada temannya sesama aktivis dakwah kampus. Khusus yang
mahram. Dengan pemberian, hati seseorang yang keras bisa melunak. Ini
yang kadang terlupakan oleh penggiat dakwah. Pernah suatu kali, Arif
kesal dengan rekan organisasinya yang mangkir terus dari kegiatan.
Ditanya pun banyak alasan, namun ketika Arif member kado, rekannya itu
menjadi sangat rajin, bahkan lebih shalih.
Eh, tunggu! Dia memberi kado Ardi bisa juga karena Ardi telah membantunya mengerjakan coding PHP untuk tugas kuliah webnya.
Kado itu masih teronggok di atas tumpukan Koran dan majalah. Belum tersentuh
pada yang dituju. Arif tak mengerti. Namun ia coba berpikir sepositif
mungkin. Anehnya, belakangan Ardi bersikap dingin. Ngomong alakadarnya.
Sekata bukan sekalimat. Padahal obrolan adalah kumpulan kata-kata. Arif
merasa bersalah. Tapi apa salah Arif?
“Antum ada masalah Akhi?”
“Nggak,” jawab Ardi, datar.
“Oh,”
Arif
sungguh-sungguh tak mengerti. Apa salah Arif hingga didiamkan Ardi? Apa
gara-gara kado? Masa’ iya gara-gara memberi jadi ‘tersangka’. Mana ada
sepanjang perjalanan sejarah, orang memberi malah dimusuhi. Tapi bisa
jadi sih bila pemberiannya membuat sakit hati atau tersinggung. Apakah
kausal itu yang jadi penyebabnya? Beragam tanya berkecamuk dalam benak
Arif.
Kehadiran Ardi sebagai rekan satu kamar sangat berarti bagi
Arif. Sangat memberi manfaat. Arif jadi makin rajin shalat tahajud dan
shalat subuh di mushalla karena ada yang membangunkan, yang sebelumnya
kerap tertinggal atau kesiangan.
“Mungkin dia gengsi kali,” kata
Arya, teman beda kampus Arif ketika ia curhat. Gengsi? Masa’ iya? Memang
sih Ardi anak orang kaya, ayah ibunya orang berada. Namun selama tiga
bulan ngekos bareng Ardi hingga kini, Ardi adalah sosok yang rendah
hati. Kalau pun sombong, paling menyombongkan orang dekat dia yang
menjadi sosok terkenal. “Coba tanyakan lagi untuk memastikan, dia mau
apa nggak? Mungkin dia sungkan untuk menanyakan lagi,” tambah Arya.
“Semua
orang tak bisa mengkomunikasikan apa isi hatinya, Akhi,” kali ini
Murabbinya Arif berbicara. “Dan tak semua orang mau menerima pemberian
kita. Di sinilah, niatan kita diuji oleh Allah. Amal Antum tak akan
seperti angin kok. Percayalah, Allah akan membalas.”
Arif mengangguk apa yang dikatakan Murabbinya saat konsultasi tentang permasalahannya.
Akh, kadonya kok nggak dibawa? Tulis
Arif dalam pesan pendek coba berpikir bahwa tak ada-apa-apa. Coba
berpolos hati. Namun tak ada balasan dari Ardi yang saat itu sedang
balik di Bogor. Sepi.
Kado itu masih teronggok di atas tumpukan
Koran dan majalah. Betah. Belum tersentuh pada yang dituju. “Akhi,
kadonya kok nggak dibuka,” Arif memberanikan diri untuk menanyakan lagi.
Mengikuti saran Arya.
Ardi yang sedang asyik dengan leppynya tak berkutik. Hanya, “Buat apa?”
“Ini buat Antum lho,” Arif yang lagi duduk di kursi belajar coba memaniskan diri, meski dalam hati gondoknya minta ampun.
Tak ada respon jua.
“Jadi, Antum mau menerima ini atau nggak Akhi?”
“Nggak,” kata Ardi dengan suara rendah namun menabrak.
Pernah
melihat hujan selain hujan air? Hujan itu bernama hujan sakit hati yang
menyayat hati Arif. Sangat menyayat. Rasanya ingin, argghh…
Masih
dengan hati yang entah seperti apa kondisinya, Arif pun mengambil silet
di atas lemari baju. Baru ia beli tadi siang, tingkat ketajamannya tak
diragukan. Sangat tajam.
Krash!
Kado yang ia bungkus dan
yang akhirnya ia buka sendiri itu pun terkuak isinya. Ardi mendengar
suara itu, tapi ia enggan nengok. Tak tega juga Arif melihat kondisi
seperti ini.
Ketika Arif tidur, Ardi yang belum tidur itu pun
mendekati meja belajar. Penasaran. Deg! Ardi merasa berdosa telah
menyakiti hati sahabatnya, tahu isi kado itu tak adalah Al-Munawwir,
kamus bahasa Arab. Kamus yang selama ini diinginkannya. Sudah lama Ardi
inginkan namun belum sempat kebeli karena harus ke toko As Sunah
Kwitang. Tak sempat, sibuk, jauh, lebih tepatnya malas ke sana.
Allah…desahnya.
Ada bintik bening di ujung matanya. Ia menolak pemberian itu bukan
karena apa. Ia hanya ingin menjaga kesucian niat dalam membantu
mengajarkan PHP kepada Arif. Kado itu saja bisa jadi pemancing niat
awalnya. Jika menolak dengan mengatakan: Saya ikhlas membantu Antum,
kalimat seperti ini yang membuat niat ternodai. Karena ikhlas adalah
pekerjaan hati, bukan pekerjaan mulut. Namun kenapa harus ditolak?
Terima saja, ah…Ardi kadang tak mengerti dengan diri sendiri.
Matahari
mengintip dari timur dengan malu-malu. Hari cerah, namun tak secerah
hati Arif. Sisa sakit hati semalam masih ada. Untuk kuatkan diri, dalam
Twitter ia berkicau: jangan sakit hati bila Allah tujuan inti.
Ia membenarkan kata Murabbinya, tak semua orang mampu mengkomunikasikan apa yang ada dalam dirinya.
Sebelum
berangkat kuliah, ia membuka dompetnya. Hanya ada dua lembar lima
puluhan ribu rupiah. Uang segitu untuk waktu 12 hari ke depan. Uangnya
berkurang karena …ah, sudahlah.
—
Untuk kalian yang saling mencintai karena-Nya.
Jakarta, 17 September 2012
No comments:
Post a Comment